Kamis, 23 Juni 2011

CRAZIER
By : Norma Handayani

Aku memang benar-benar gila…
Bagaimana semerbak wanginya mampu buatku mengaguminya
Bagaimana sebentuk kecil bibirnya sanggup buatku terpana saat dia berkata
Bagaimana jemari-jemari lentik itu mampu menggetarkanku  kala bersalaman dengannya

@@@
Aku jadi muak jika dia hanya diam saja di meja kantin. Tampak seperti orang bodoh  yang bahkan  tidak mampu untuk menghitung 1 + 1 = 2. Dia hanya termenung sejak 15 menit 24 detik yang lalu. Hanya sendirian duduk di meja kantin tanpa menyentuh semangkuk mie instan yang dari tadi dipesannya. Sepertinya dia ada masalah. Dia kenapa??? Aku bertanya sendiri dalam hati. Bertanya-tanya tanpa melepaskan satu detikpun mengalihkan pandanganku darinya. Aku pun masih setia duduk di kursi pojok kantin ini. Mengabaikan bau asap dari kompor Bu Trimo demi mendapat posisi terbaik memandangnya hari itu.
                Tercium harum parfumnya saat melewatiku. Sebenarnya aku agak pusing mencium bau-bauan kompor bercampur parfumnya, ah tapi aku senang lihat dia siang itu, jadi aku tidak lagi  peduli. Dia berlalu dari kantin dan aku juga segera masuk ke kelas karena suara bel berteriak-teriak  seperti majikan memerintah pembantunya.
                Aku Rini Lestari, siswi kelas tujuh SMPN 1. Baru 3 bulan aku memakai seragam putih biru ini. Tapi sejak hari pertama di sekolah ini, aku telah mengagumi seorang kakak kelas bernama Danu, siswa kelas 9C.
                Hari pertama di SMP, aku kagum dengan sekolah ini. Mataku mengarah ke segala penjuru melihat gedung sekolah yang megah, guru-guru yang ramah, serta kakak-kakak berseragam putih biru yang membaur dengan siswa-siswi baru berseragam SD. Ada beberapa dari kakak-kakak itu yang memakai pin bertuliskan “OSIS”.  Mereka itulah anggota pengurus OSIS SMPN 1. Diantara mereka ada seorang kakak yang pendiam tetapi sangat bekharisma. Aku terus saja memandanginya hingga aku sadar bahwa aku harus segera mencari ruang kelasku. Aku menemukan namaku di papan depan ruang kelas 7A. Aku masuk ke kelas itu, dan tanpa banyak bicara, aku langsung meletakan tasku di sembarang meja. Lalu aku hanya duduk diam di tempat itu tanpa mengenal seorangpun disana.
                Tiba-tiba seluruh siswa segera masuk dan disusul oleh beberapa kakak OSIS. Aku jadi sangat senang karena ada kakak yang berkharisma tadi.
                “Hai, saya Danu Wijaya, dari kelas 9C. Saya bendahara dalam organisasi ini. Saya yang akan jadi pendamping adek-adek selama 3 hari Masa Orientasi Sekolah.” Kak Danu memperkenalkan diri. Dia meminta seluruh siswa baru di kelas untuk memperkenalkan diri.
                Tiba saatnya aku memperkenalkan diri. Aku masih ingat saat langkah-langkah kecilku menuju depan kelas, wajahku merona, aku jadi sangat malu ketika Kak Danu menatapku dengan sorot matanya yang begitu tajam. Kalimatku terbata-bata, padahal biasanya aku sangat lancar  berbicara di depan orang banyak. Sejak itu aku sadar, aku cinta Danu.
@@@

                Walaupun aku sangat mencintainya, aku tak pernah berani untuk berbicara dengannya. Jangankan bicara, menatapnya ketika kami berpapasan di koridor kelas tujuh pun aku ragu. Dan benar jika hati adalah hati, diam mendekam dalam kesunyian. Kadang nurani berteriak, bergejolak untuk mengatakan cinta, lalu mulutku jadi kelu. Entah meragu, malu, aku tak tahu. Aku hanya menjadi penggemarnya, sembunyi dari pandangannya, mengamati dia dari tempat yang dia sendiri mungkin tak akan pernah menduga. Mencoba merasuki kehidupannya melalui kebungkamanku, hanya itu caraku.
                Kadang moodku berubah dengan cepat hanya dengan membaca status akun jejaring sosialnya. Tiba-tiba aku tersenyum geli membaca kalimat-kalimat keluhan yang dia ketik ketika nilai Geografinya buruk. Atau kadang aku jadi begitu sedih membaca deretan huruf berisi kekecewaannya pada seorang perempuan, Alfara.
Aku agak  sedih saat dia punya pacar, namanya Alfara anak kelas 8G. Lagipula aku bisa apa, dia bahkan tak kenal aku. Aku tak mungkin mendekapnya, tersedu di bahunya untuk meninggalkan Alfara, aku bukan siapa-siapa.  Aku jadi tidak ikhlas melihat dia dengan orang lain. Sebenarnya aku bukan ingin jadi orang egois, tapi aku sangat ingin memilikinya, entahlah.
@@@
                Detik berjalan perlahan berganti menit, menit melangkah menuju jam, jam demi jam menjelma dalam hari. Waktu berlalu begitu cepat, dia akan lulus SMP. Aku mulai khawatir kehilangan dia. Aku jadi takut tidak bisa melihatnya seperti hari-hari kemarin.
                Ternyata selulus dari SMP dia melanjutkan di SMA yang dekat dengan SMP. Dia kadang datang ke SMP, dia melatih  Pramuka, setidaknya itu membuatku bahagia. Aku dengar dia telah putus dengan Alfara, lalu dia taruhan tidak akan  pacaran selama SMA. Tapi taruhan itu tidak ditepatinya. Dia pacaran dengan Rani, siswi yang seangkatan denganku. Saat itu aku dan Rani duduk di kelas 9.  
@@@
Tangis bahagia membuncah saat diumumkan bahwa seluruh siswa SMPN 1 angkatanku lulus. Di sela-sela kebahagian itu, aku jadi begitu merindukan Kak Danu. Aku ingin sekolah di tempatnya sekolah saat itu, SMA 6. Tapi nasib berkata lain, aku melanjutkan ke SMA 7. Meskipun jauh dari pandanganku, tapi cintaku akan terus hidup meski kadang dia memadamkannya dengan sikapnya yang dingin padaku, aku tak peduli. Karena bagiku itu tidak berpengaruh apa-apa.
Ada saat-saat aku ingin meredam rasa ini. Tapi namanya, raut wajahnya, dan  segala tentangnya terus memacuku untuk ingat dia. Aku berusaha untuk lupa, tapi akan jadi luka, aku memang menggilainya.
@@@
SMA 7, sekolah baruku. Sekolah ini mampu menggodaku untuk aktif dalam OSIS. Sejak hari pertama menginjakkan kakiku sebagai siswi SMA di sekolah ini, aku telah berkeinginan untuk menjadi pengurus OSIS. Masa-masa pengenalan sekolah berlalu begitu cepat. Aku dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan teman-teman yang baru pula. Ada hal yang sangat mengganjal dalam hatiku. Ratusan siswa baru dan senior-senior di sekolah ini bahkan tak mampu memudarkan rasa cintaku pada Kak Danu. Mereka hanya seperti tetesan air yang membasuh permukaan berlilin. Percuma. Aku memang hanya cinta Danu.
@@@
OSIS yang membuatku bertemu lagi dengan Kak Danu…
Sebagai pengurus OSIS yang berhubungan dengan Humas, aku mempunyai tugas untuk menciptakan hubungan sosial yang baik dengan sekolah-sekolah lain. Kak Marenta, ketua OSIS SMA 7 menugaskanku untuk mencari koneksi dengan pengurus OSIS SMA lain.
                Saat aku menghubungi temanku yang bersekolah di SMA 6, dia memberiku nomor HP yang katanya adalah nomor salah satu pengurus OSIS SMA 6. Aku menghubungi nomor itu.
                “Hallo..” suara itu menjawab panggilanku
                “Hallo selamat sore, saya Rini Lestari dari SMA 7.” Aku menjawab salamnya. Sebanarnya hatiku benar-benar berdebar tak keruan. Suara yang berwibawa itu sungguh membuatku tercengang. Desah nafas yang begitu kukenal. Penekan di tiap kata yang aku rindu. Suaranya, Danu Wijaya.
                “Iya, Rini. Saya Danu, dari SMA 6. Ada apa?” dia menjawab sopan.
                “Begini Kak, OSIS SMA 6 dan 7 mungkin bisa bekerjasama dalam banyak hal yang bermanfaat. Kita dapat bersama-sama mewujudkan peningkatan intra maupun ekstrakurikuler. Saya mewakili OSIS SMA 7 ingin mengajak teman-teman SMA 6 untuk mewujudkan kerjasama itu.” Jawabku
                “Cukup menarik. Ngomong-ngomong kamu kelas berapa?” tanyanya
                “Saya baru kelas sepuluh Kak. Dan pasti Kak Danu kelas duabelas” jawabku
                “ehhmm, iya. Kok tahu?” dia jadi penasaran
                “ohh, tadi kebetulan nebak aja.” Jawabku seadanya,  tampak gugup.
                “yasudah, nanti akan saya sampaikan kepada teman-teman OSIS SMA 6.” dia menimpali.
                “Terima kasih, saya tunggu kabarnya Kak.” Salamku terakhir
                “Sama-sama..” jawabnya singkat. Telepon dimatikan, aku melonjak girang di dalam kamarku. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini, mendengar suaranya yang mampu menggetarkan jiwa, ahh aku jadi benar-benar merindukannya, aku hampir saja menangis bahagia.
                Tuhan memang begitu adil, Dia ciptakan saat-saat yang menjengkelkan ketika aku melihat  Danu bersama orang lain, tapi kini Dia juga menciptakan takdir indah ketika aku mampu mendengarkan suara merdu Danu lagi.
                Kapan aku mampu memilikimu ?
                Aku sudah menunggu lama
                Sesungguhnya aku hanya mencintaimu
                Mencintai kamu tanpa kemunafikan
                Aku perempuan biasa, aku tak ingin tampak luar biasa
                Sadarkah kamu?
                Kamu yang kupilih….
@@@
                Danu memang telah bersama Rani, tapi kebersamaan itu hanya sesaat. Kini dia berpindah hati pada seorang perempuan bernama Nada. Aku memang benar-benar terpukul. Harapanku untuk memilikinya sekali lagi remuk. Susunan puing yang kemarin runtuh lalu bersatu harus hancur lagi, sekali hantam dengan kabar “Danu pacaran dengan Nada”.
                Cukup bersedih, tapi aku tulus mencintainya. Ketika dia bahagia, saat itulah aku merengkuh kebahagiaan walau dia bukan milikku. Sebenarnya aku menyimpan rasa yang hina. Perasaan yang tumbuh tidak pada tempat seharusnya ia tumbuhi. Aku jadi seperti lumut di tembok rumah. Tampak hijau dan cerah, tapi sesungguhnya jahat karena perlahan menghancurkan tembok. Aku jadi lumut yang jahat jika terus mengganggu Danu padahal dia hanya mencintai Nada saat ini.
@@@
                Aku mengumpat sesal pada diri sendiri. Kenapa aku jadi tidak mampu menyimpan dan mengubur rasa cintaku pada Danu. Aku jadi sangat ceroboh dalam berkata. Aku jadi benar-benar bodoh mengaku mencintainya, aku jahat pada Nada. Aku memang menyesal mengenai pengakuanku pada Danu tentang rasa cintaku, tapi entah kenapa aku jadi sangat lega. Aku memang menyesal, tapi aku menikmatinya. Sungguh…
                Aku jadi sangat dekat dengan Danu sejak telepon pertama dulu. Aku menjadi bahan gossip di sekolah. Ada rasa malu dan bersalah menghampiriku. Seberani apapun aku mengungkapakan cinta, tetap saja aku berdosa, dia milik orang lain. Aku memilih mengalah dengan berdusta.
                “Itu hanya gossip kok Han, kakak kelas SMP yang aku suka dulu itu  bukan Kak Danu.” itu yang kukatakan ketika Hana mengejekku tentang kedekatanku dengan Kak Danu. Aku hanya tersenyum konyol ketika dia menolak pernyataanku. Aku segera berlalu agar dia dan kawanan gosipnya tidak menyerbuku dengan amunisi pertanyaan yang pedas.
@@@
                Danu, aku hampir lelah menantimu…
Sore yang hangat, ketika Kak Danu meneleponku. Dia mengucapkan salam dengan suaranya yang berat tetapi tak pernah kehilangan wibawa,
                “Sore Rin..”
                “Iya Kak? Wah tumben sore gini nelpon? Ada apa?” jawabku.
                “Ehm.. nggak boleh ya? Aku matiin sekarang deh.” Dia menanggapiku
                “Eh bukan gitu, bercanda doang juga. Serius nih, ada apa loh?” aku jadi khawatir
                “Ehm… aku putus” dia menjawab dengan suara putus asa
                “Ha? Kapan?”  aku agak kaget.
                “Sebenarnya sudah sejak seminggu yang lalu” dia menjawab.
                “But, Why?” aku menanyakan alasannya
                “I can’t tell you. Sorry..” dia bungkam tentang alasan mereka putus.
                “Oke, don’t worry. Calm down my Dear..” aku dengan tidak sengaja memanggilnya begitu. Detik itu juga kami jadi sama-sama diam tapi teleponnya tidak ditutup.
                “Maaf..” ucapku polos memulai lagi
                “Ah tak apa. Maaf aku jadi diam tadi. Aku sedikit terkejut.” Dia menjawab
                “Aku..” kalimatku terputus
                “Dek, kamu di rumah?” dia dengan cepat mendahului bicaraku
                “Iya” jawabku singkat
                Tutt.. suara telepon dimatikan. Jujur aku masih sangat penasaran kenapa dia memlih berpisah dengan Nada. Tiba-tiba saja ada perasaan bahagia di hatiku. Ternyata aku memang masih sangat menantikan saat-saat dia membalas perasaanku. Sungguh aku mengharapkan itu. Tapi aku juga khawatir alasan mereka putus adalah aku. Dadaku sesak, aku jadi bingung. Aku harus senang atau aku harus khawatir dan merasa bersalah?
@@@
                Diam, hening menunggu apakah Danu akan meneleponku atau setidaknya mengirim SMS padaku. 5 menit, 10 menit, 15 menit, aku jadi lelah menunggu telepon dan SMSnya. Aku beranjak dari kursi kayu di teras rumahku, tempatku duduk saat ini. Aku hendak mengambil earphone di kamar ketika suara kendaraan Danu terdengar mendekati rumahku. Aku urung masuk ke dalam rumah.
Aroma tubuhnya, parfum yang tak berubah sejak aku mencintainya di kelas tujuh, masih sama. Sepoi angin sore menerbangkan keharumannya di sekitar rumahku. Dia masih sama, dengan senyum mengulum di bibir manisnya, hidung mancungnya, bola mata coklat yang berbinar-binar penuh semangat, jemari lentiknya, serta suara nafasnya yang seolah bertaut dengan jantungku yang makin berdebar. Dia yang kucinta, Danu Wijaya.
Kini dia mendatangiku, menjawab kesabaran yang aku beri selama ini. Dia berdiri dekat denganku, merengkuh satu persatu jemariku yang kecil dalam genggaman tangannya yang hangat. Matanya menatap lekat pada mataku. Kami berpandangan dan dia menarikku dalam pelukannya. Lalu bibir-bibir manisnya mulai terbuka, dia berkata
“Aku sangat mencintaimu. Aku baru sadar bahwa hanya kamu yang mampu mengerti aku. Hanya kamu yang begitu menerimaku apa adanya, bahkan kamu begitu setia menungguku Dek…”
Aku masih diam hanyut oleh kebahagiaan. Tapi perlahan mataku yang berbicara, butiran bening mengalir dari mataku membasahi bahu Danu. Aku menangis bahagia. Aku memang hanya mampu begitu. Aku tidak bisa berkata-kata karena terlalu bahagia. Kami jadian. Penantian yang tak pernah aku sesali. Aku cinta kamu Danu…..